top of page
Search

Berangkat dari Stigma, Ide, hingga Penyakit, Apa Kabar, Jurnalisme?

  • Writer: gabriella keziafanya(00000045953)
    gabriella keziafanya(00000045953)
  • Nov 9, 2022
  • 6 min read

Updated: Nov 11, 2022


Foto: Humas Indonesia
Kedengarannya, kalimat “Industri media dituntut untuk bisa beradaptasi dengan teknologi,” sudah sering diperdengarkan setiap kali membahas disrupsi digital. Itu faktanya. Namun, apakah hanya media yang harus berperan di sini?

Seorang bijak berkata, “Bangun tidur, yang dipegang handphone.” Artinya, memang keseharian masyarakat saat ini sangat dipenuhi oleh teknologi sampai-sampai baru bangun tidur pun yang diingat adalah handphone. Adanya kemajuan ini membuat terjadinya disrupsi digital besar-besaran secara global. Kita tahu sekarang pun sudah ada yang namanya IoT atau Internet of Things.


Dikutip dari rri.co.id, Staff Ahli Menteri Kominfo RI Prof. Dr. H. Henry Subiakto menyatakan, “Jadi, kita berubah ini gara-gara teknologi. Boleh dikatakan secara biologis manusia bisa berubah karena lingkungannya. Lingkungan terdekat kita sekarang adalah teknologi.”


Secara istilah, ada yang disebut technological determinism atau determinisasi teknologi yang pada intinya menerangkan bahwa kemajuan di tengah masyarakat didorong oleh teknologi yang bisa mengubah sampai ke nilai-nilai budaya, struktur sosial, dan sejarah.


Bila kita mengintip sedikit data yang didapat oleh Kementerian Kominfo, banyaknya jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) saat ini mencapai 167 juta orang atau setara dengan 89% dari total penduduk Indonesia. Sadar ataupun tidak, kita telah menghabiskan rata-rata 8 jam 52 menit per hari untuk penggunaan internet. Terlebih dengan adanya kondisi pandemi yang memaksa orang untuk bekerja dari rumah, penggunaan gawai menjadi marak dan secara tak langsung menjadi sebuah “keharusan” agar dapat tetap terhubung satu sama lain.


Layaknya apa yang disampaikan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ahmad M. Ramli, efek kegiatan daring juga berdampak dalam penurunan batas usia pengguna media sosial, dari rata-rata usia 25—34 tahun menjadi usia 6 tahun karena adanya sekolah daring.


Oleh karena itu, media massa pun perlu merombak tata cara pelayanan mereka demi menyelami sisi kebaruan ini. Inovasi media kemudian muncul dengan menawarkan tampilan yang memanjakan pembaca. Praktik jurnalisme dengan adanya teknologi mengalami perubahan, baik pada isi, cara kerja maupun keputusan di ruang redaksi.


Digitalisasi mendorong pula keberadaan jurnalisme warga atau citizen journalism yang membuka peluang bagi siapapun untuk bisa mendistribusikan informasi. Saya ingat baik ketika jurnalisme warga masuk pertama kali di media Indonesia, yakni melalui kanal NET TV pada 2013. Ketika itu, saya melihat pemberitaan media—meski itu citizen journalism sekalipun—sangat terstruktur dan patuh pada pedoman jurnalistik yang sudah ada. Namun seiring waktu berlalu, aspek etik tersebut semakin memudar.


Di satu sisi, citizen journalism menjadi ancaman bagi perusahaan media. Kini, siapapun bisa menyebarkan berita dan bisa sampai viral walaupun belum teridentifikasi betul kebenarannya. Tak jarang pula berita-berita hasil citizen journalism yang akhirnya menjadi kartu as yang menggerakkan sejumlah pihak negara. Saya yakin kita semua pernah melihat komentar begini, “Kalau nggak viral duluan, nggak bakal diproses.”


Nyatanya, banyak jurnalis saat ini yang menggunakan media sosial sebagai alat untuk mencari item berita (Kim & Kim, 2018:341). Saya rasa konten media sosial memang dapat digunakan sebagai penunjang, tetapi bukan sebagai dasar. Melalui penelitan Maybi dan Irwansyah dengan tajuk Pengaruh Trending Topics Politik sebagai Reversed Agenda-Setting dan Haluan Politik Pemilik Terhadap Berita Politik di Televisi, diperoleh hasil bahwa pengaruh trending topics media sosial tetaplah signifikan.


Sebut saja, pengaruh trending topics berbau politik menjadi penyeimbang terhadap tekanan haluan politik yang akhirnya digunakan untuk mengurangi intervensi aparat negara dalam mempengaruhi agenda publik. Dengan begini, media sosial juga bisa memberikan pengaruh dalam proses produksi di ruang redaksi dan mempengaruhi kepentingan media.


Pengaruhnya sudah sejauh itu. Pewarta foto ANTARA Andika Wahyu pun mengakuinya, “Perusahaan media bukan lagi satu-satunya yang memegang kendali informasi berita, karena kita tahu di luar sana banyak orang yang sudah dipersenjatai kamera.”


Saya yakin tentu hal ini sudah sejak lama menjadi concern dari banyak media massa yang masih berusaha mempertahankan eksistensi mereka sampai saat ini. Tetap saja, tidak banyak masyarakat yang benar-benar mengakses situs-situs berita kredibel. Konten-konten receh di media sosial justru memperoleh engagement yang tinggi.


“Media massa, terutama online dipaksa membuat konten sederhana tetapi disukai pembaca. Medsos sangat luar biasa karena lebih cepat dan disukai warganet. Di medsos, tidak dipercaya tapi dibaca. Media cetak dipercaya, tapi tidak dibaca,” ucap Ketua ASMI Sumatra Selatan Sidratul Muntaha.


Bagi saya, ada dua kemungkinan. Pertama, karena stigma masyarakat yang mungkin masih melihat media online sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, kaku, dan lekat dengan kata konvensional. Jika begitu, sebenarnya media sudah beradaptasi dan produk digitalnya juga sudah bergelimpangan, tetapi memang stigma dari masyarakatlah yang kurang tertarik untuk menikmati sajian berita dari media massa.


Ataupun kedua yaitu karena memang tingkat literasi Indonesia yang rendah. Argumen ini didukung dengan laporan Kominfo sebelumnya yang menyebutkan persentase pengguna smartphone di Indonesia mencapai 89%. Angka ini tidak selaras dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang menempati peringkat 62 dari 70 negara berdasarkan survei. Banyak hal yang bisa dilakukan lewat media sosial, tetapi masyarakat lebih sibuk berselancar di dunia maya untuk konten lain.


Membahas hal ini, muncul ide agar sekiranya media bisa menambahkan rubrik tersendiri yang khusus membahas klarifikasi berita-berita yang beredar, khususnya berita-berita yang sering viral di media sosial dengan menyertakan bukti terdata yang kredibel. Secara konsep, bisa mirip dengan situs TurnBackHoax milik MAFINDO yang menangkal berita-berita palsu sehingga secara tidak langsung pun mendukung kinerja penumpasan berita hoaks tak berdasar di Indonesia. konten berita, tetapi juga bisa sebagai tempat klarifikasi.


Membahas hal ini, muncul ide agar sekiranyamedia bisa menambahkan rubrik tersendiri yang khusus membahas klarifikasi berita-berita yang beredar, khususnya berita-berita yang sering viral di media sosial dengan menyertakan bukti terdata yang kredibel. Secara konsep, bisa mirip dengan situs TurnBackHoax milik MAFINDO yang menangkal berita-berita palsu sehingga secara tidak langsung pun mendukung kinerja penumpasan berita hoaks tak berdasar di Indonesia.


Di satu sisi, media online tentu dapat meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat dan engagement terhadap media massa juga akan meningkat. Di sisi lain, masyarakat juga mendapat nilai positif dimana tidak serta-merta menerima apa pun yang dibaca, tetapi terbiasa mengecek kebenaran informasi sebelum menerimanya, serta ditumbuhkan rasa skeptis dengan men-crosscheck segala sesuatu. Tentu rubrik ini diharapkan bisa selalu up-to-date dan mendahului masyarakat.


Di samping itu, ada satu “penyakit” yang sering menyerang karya-karya jurnalisme media yang sebenarnya perlu dikurangi. Umpan klik atau Clickbait. Melansir dari Wikipedia, clickbait biasa ditujukan untuk mendapatkan penghasilan iklan daring, mengorbankan kualitas atau akurasi dengan bergantung kepada tajuk sensasional guna mengundang klik.


Agak disayangkan, sekarang yang dikejar bukanlah seberapa baik bobot dari sebuah berita, melainkan berapa jumlah klik yang didapat. Dengan begitu, wartawan dan media online berusaha bertahan hidup dengan “terpaksa” melupakan kaidah dan tujuan utama jurnalistik agar lebih cepat mendapatkan adsense.


Diperlukan adanya minimalisasi pemberitaan clickbait, baik dari segi judul maupun isi. Memang benar akan cepat menaikkan jumlah klik, tetapi sisi buruknya akan menurunkan tingkat kualitas media online di mata pembaca secara tidak langsung, sedangkan beberapa media lain sedang jungkir-balik mengusahakan agar masyarakat yakin dengan konten berkualitas yang mereka sediakan.


Satu hal lagi, ini juga akan berpengaruh kepada calon-calon jurnalis saat ini. Anak-anak muda era digital banyak menerima informasi dari media massa online dan media sosial. Tentu akan selalu diajarkan di sekolah atau kampus. Namun jika mereka—termasuk saya sendiri—sudah terlalu sering melihat judul-judul ataupun berita-berita clickbait, kami bisa saja terbawa-bawa dan menjadi terbiasa saking seringnya melihat. Dengan begitu, akan tercipta sikap kurang peka terhadap jurnalisme yang benar seperti apa.


Kolumnis teknologi New York Times David Pogue melalui artikelnya menulis, “Clickbait bukan jurnalistik yang baik. Headline atau judul berita yang baik itu transparan dan efisien, bukan menyembunyikan substansi berita demi mengejar trafik.” Dengan kata lain, yang harus dikedepankan adalah isi dari berita. Jika beritanya memang bagus, kenapa harus di-overhype?


Kesimpulannya, kondisi pandemi ini justru bisa menjadi kesempatan bagi media massa untuk melebarkan penyiaran berita mereka, didukung juga dengan aspek peningkatan kualitas berita yang aktual, faktual dan akuntabel. Karena dengan work from home dan derajat penggunakan gawai yang meningkat, media online bisa lebih tergapai.


Saya sendiri sangat mengapresiasi usaha media online yang senantiasa berevolusi mengikuti perkembangan zaman agar tak lekang oleh waktu. Dan menurut saya, langkah yang diambil sudah baik karena dibandingkan mencari cara agar bisa menyaingi media sosial, sebaliknya kita gunakan pengaruh media sosial itu untuk membuktikan kualitas media massa, serta penyebarannya agar semakin banyak orang yang bisa menikmati konten jurnalisme berkualitas.


Beberapa media seperti Pikiran Rakyat, TEMPO, dan Kompas sudah menerapkan hal ini. Masing-masing sudah memiliki akun media sosial dan distribusi berita mereka menjadi beragam. Semisal saja akun Instagram Pikiran Rakyat @pikiranrakyat yang publikasinya menggunakan fitur seperti Reels, IGTV, dan Carousel sehingga lebih menarik dan bervariatif.


Jadi apabila dipertanyakan apakah sudah cukup beradaptasi, saya rasa banyak bentuk adaptasi media yang terus-menerus berkembang dan masih berlangsung sampai saat ini. Hanya satu penyakit yang perlu disembuhkan yaitu clickbait tadi. Judul dan isi berita yang baik adalah transparan dan efisien. Dengan isi yang berkualitas, tidak lagi diperlukan headline bombastis demi mengejar jumlah klik.


Untuk menjawab pertanyaan kita di awal, terbukti bahwa tidak hanya melulu pihak media yang perlu melakukan upaya, tetapi juga perlu didukung dengan kerja sama dari masyarakat berupa literasi terhadap konten berkualitas dan sikap skeptis yang tak mudah termakan berita dengan judul atau isi yang ‘wah’ padahal tidak memiliki esensi yang semestinya.


Sebagai penutup, saya hendak memetik suatu pesan yang menggugah dari Kepala Newsroom Sriwijaya Post-Tribun Sumsel Wenny Ramdiastuti.


“Jurnalis dan perusahaan pers harus bermental baja sebagai bentuk bahwa wartawan menolak mati dan kalah dari media sosial. Insan pers harus berani tampil, terus tampil, dan tunjukkan eksistensi karena jurnalis merupakan profesi yang sangat diperlukan.”


Esai argumentatif ujian tengah semester mata kuliah (JR109-D) Mobile and Social Media Content Production. (9/10/2021)

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2022 by Gabriella Keziafanya. Proudly created with Wix.com

bottom of page