Jangan Menilai Manga dari Sampulnya
- gabriella keziafanya(00000045953)
- Jun 19, 2023
- 6 min read
“Dasar wibu, bau bawang!!!”
Acap kali para pecinta budaya populer terkena damprat dari teman-teman sepermainan yang tidak satu genre. Kesukaan mereka itu terkadang bisa menjadi bumerang terhadap diri sendiri apabila ditunjukkan secara nyata. Hal yang sama dialami oleh kaum pecinta karya Jepang, dengan nama panggilan wibu.
Istilah wibu melekat di kalangan masyarakat sebagai orang yang terobsesi dengan budaya dan gaya hidup orang Jepang, merujuk pada KBBI. Kata “wibu” pada dasarnya berasal dari Bahasa Inggris “weaboo” yang ditujukan untuk mereka yang menggilai Jepang meskipun bukan warga Jepang. Pasalnya, masyarakat Indonesia termasuk penggemar kebudayaan Jepang seperti manga, anime, maupun J-Pop (pop Jepang), musik, film, fesyen, ataupun gaya hidup jejepangan.
Masih banyak orang yang memandang wibu dengan konotasi negatif. Sekitar tahun 2015-an, salah seorang youtuber bernama Ericko Lim sering mengaitkan wibu dengan bau bawang di dalam beberapa unggahan videonya. Ia sempat menjelaskan bahwa muncul kata-kata itu karena ia menganggap wibu jarang mandi. Komunitas wibu sedari dulu hingga sekarang terus meningkat, mengingat akses terhadap internet yang semakin berkembang.
Minggu, 12 Juni 2023. Sore itu, kami mendatangi salah satu rumah teman kami. Terlihat Mobil Toyota Vios itu terparkir memenuhi halaman rumahnya yang minimalis, di belakangnya ada motor Honda Revo yang sudah sangat berdebu. Sambil tersenyum ramah, pemilik rumah itu tersenyum ketika membukakan pintu untuk kami. Terlihat dari barang-barang yang berantakan, piring-piring yang belum dicuci, ia tinggal sendirian. Rumahnya berada di sebuah komplek perumahan yang masih cukup sepi, kalau dilihat dari halaman perumahan itu, baru beberapa rumah yang sudah ditinggali.
Pemilik rumah itu adalah Horsa, begitu sapaan akrabnya, ia adalah mahasiswa semester ke-6 di salah satu kampus swasta di Tangerang, Universitas Multimedia Nusantara.

Kami sebelumnya sudah membuat janji untuk bertanya-tanya kepada Horsa tentang kegemarannya tentang hal-hal berbau Jepang. Kebetulan di saat itu ada salah satu temannya, Ian, yang juga sedang berkunjung ke rumah Horsa. Ketika dirumahnya, kami tidak langsung bertanya-tanya, kami mencoba melihat-lihat dahulu sambil sedikit basa-basi. Pandangan kami terfokus pada salah satu sudut rumahnya, terlihat sebuah komputer yang di atasnya tersusun buku-buku dengan huruf Kanji yang kami juga tidak tahu apa isinya.
“Kalau aku lebih ke nonton anime aja, sih. Kalau budayanya suka tapi enggak mendalami, sekadar tahu saja,” ucap Horsa ketika kami tanya soal kegemarannya dengan Jepang.
Setelah kami banyak mengobrol dengan Horsa, kemudian kami beristirahat sekaligus saling bercanda. Horsa sempat menunjukkan salah satu komik miliknya kepada kami. Teman kami, Reno, awalnya hanya sedikit mengetahui tentang manga (komik Jepang), setelah sedikit membaca sepertinya Reno mulai tertarik untuk mendalami. Sementara itu, Horsa sedang memainkan gitar elektrik miliknya. Kami meminta Horsa untuk memainkan salah satu lagu Jepang kesukaannya.
“Yuganda sekai ni, dandan boku wa”
(Di dunia yang kacau ini, tubuhku perlahan menghilang)
“Sukitoote mienaku natte”
(sampai aku tak kasat mata)
“Mitsukenai de boku no, koto wo mitsumenaide”
(Jangan mencari diriku, jangan pula menatap diriku)
Mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang yang tidak mempermasalahkan seorang wibu. Namun, bagi Horsa stigma buruk terhadapnya menghambatnya dalam beberapa hal, contohnya seperti berorganisasi. Bukan hanya sekali Horsa dipandang buruk karena pembawaannya. Ia bercerita bahwa beberapa organisasi di kampusnya langsung meragukan profesionalitas Horsa dalam berorganisasi ketika beberapa di antara mereka mengetahui Horsa adalah seorang wibu.
Ketika ditanya mengapa Horsa tidak bergabung komunitas sesama wibu. Horsa mengatakan bahwa ia justru tidak merasa nyaman dengan komunitas wibu, mungkin karena selera anime yang ditonton berbeda dengan kesukaannya sehingga tidak nyambung ketika diajak ngobrol.
==
Di hari yang sama, kami juga sudah membuat janji untuk mengobrol dengan Vellanda, salah satu teman kami. Namun karena ia tidak bisa bertemu secara langsung dan sama seperti salah satu anggota kelompok kami, Fanya, saat itu juga berhalangan hadir, sehingga kami memutuskan untuk tetap bertanya-tanya secara daring.
Selepas magrib, sekitar jam 6 sore, kami masih menumpang di rumah Horsa, kepalang sudah nyaman meminjam komputernya. Sementara itu Horsa sibuk mengobrol dengan Ian. Melalui Google Meet kami menyapa Vella, panggilan akrab Vellanda, lalu memperkenalkan diri kami untuk formalitas sekaligus karena salah satu dari kami masih belum mengenalnya. Sepertinya saat itu Vella masih dalam perjalanan dengan mobil entah ke mana, yang jelas koneksi internetnya cukup buruk sehingga beberapa kali kami meminta Vella mengulangi kalimatnya.
“Mungkin aku wibunya 80 persen karena kalau wibu itu yang benar-benar mengoleksi dan membaca komik. Kalau aku baca komik kalau ada yang aku suka banget,” ucap Vella yang terlihat lebih percaya diri menyebut dirinya wibu.
Vella beberapa kali sempat datang ke acara-acara yang diadakan untuk para wibu, seperti Comifuro. Bahkan, ia sempat cosplay (memakai kostum anime) ketika menghadiri Comifuro bersama teman-temannya pada tahun 2022 lalu. Tahun ini, 2023, Vella tidak cosplay ketika menghadiri Comifuro. Namun, karena gaya berbusana Vella yang memakai topeng serta mantel yang mungkin dianggap sedang cosplay, Dari situ, banyak yang mewawancarainya dan mengajaknya foto.
Mungkin itu hanya segelintir cerita lucu dari pengalaman Vella sebagai seorang wibu. Vella juga mendapatkan stigma negatif dari kegeramannya soal Jepang. Sebagai seorang wibu, Vella sering dianggap jarang mandi, dan tidak fokus terhadap pekerjaannya karena sibuk menonton anime.
“Aku mandi 3 kali sehari, tidak bau. Aku juga tau cara mengatur waktu antara menonton anime dan bekerja serius. Menjadi wibu itu bukan seperti manusia tidak jelas. Justru aku semangat kerjain UAS karena anime,” ujar Vella saat itu.

Vella mengenal anime (animasi Jepang) sedari taman kanak-kanak, tak heran kalau ia banyak terinspirasi dan termotivasi dari anime. Naruto, salah satu anime yang menemaninya tumbuh dan membuat alam bawah sadarnya tertulis alegori kehidupan yang diselipkan dalam cerita animasi Jepang tersebut.
Vella bercerita bahwa awalnya ia tertarik untuk menjadi cosplayer, tapi orangtuanya justru menginginkan Vella fokus ke bidang akademis. Oleh karena itu, Vella tidak sempat untuk mendalami minatnya untuk menjadi cosplayer. Vella menemukan sebuah orkestra yang sesuai dengan dirinya, karena memang ia menyukai musik klasik dan orang tua Vella lebih mendukungnya jika ingin mendalami musik klasik.
Sekarang Vella tergabung dalam sebuah orkestra yang berisi para wibu, Little Harmony Orchestra. Di sana, Vella menjadi salah satu violinist. Orkestra ini didirikan karena pendirinya memang suka dengan anime sehingga musik yang dibawakan dalam orkestra ini adalah musik tema dari anime, selain karena pendirinya melihat peluang untuk pasar wibu yang tertarik dengan musik klasik.
Salah satu impian Vella adalah untuk bisa pergi ke Jepang. Sama seperti Horsa, Vella belum pernah sama sekali pergi ke negeri sakura itu. Untuk sekarang ia hanya bisa terus menabung untuk memenuhi impiannya itu. Setidaknya, Vella menjadi lebih rajin menabung dan belajar semenjak ia berniat pergi ke Jepang. Vella mengatakan bahwa di sana banyak tempat yang ingin ia kunjungi. Ada beberapa tempat yang dibuat berdasarkan dunia dalam anime seperti desa Konoha atau taman bermain bertemakan karakter yang dibuat Studio Ghibli (rumah produksi anime).
Sama seperti orang pada umumnya, semuanya memiliki impian masing-masing. Siapa kita bisa menilai mimpi orang lain?
Usai kedua narasumber undur diri dari ruang temu daring, kami sama-sama bergejolak untuk mengontak Kenzie, mahasiswa Indonesia peraih beasiswa MEXT Jepang, untuk membawa pernyataan komparasi ke atas meja diskusi.
Berbicara keberuntungan, Kenzie masuk dalam kategori wibu yang berhasil studi ke Jepang. Ia berkesempatan melihat karya dan kebudayaan asli Jepang dengan konkret. Tahun ini adalah tahun keduanya di Kyoiku University. Kecintaannya terhadap robot-robot anime Gundam menjadi pondasinya memilih bidang aerospace engineering.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, ia pun mencuri waktu yang tepat untuk mendatangi monumen Gundam yang ia tonton di televisi, kini dalam ukuran aslinya yang tinggi menyerupai raksasa.
Sempat merasakan perbedaan jejepangan di Indonesia dan di Jepang, Kenzie mengakui jika wibu Indonesia lebih militan dari wibu Jepang.
“Kalau di sini (Jepang) wibunya lebih, I guess, lebih diem gitu ya. Terus orang wibu itu tipikal di kantin aku lihat suka baca manga sambil makan gitu, suka bawa merch ke mana-mana kayak map anime gitu. Terus pake baju anime juga. Kalau orang wibu Indonesia sih benar-benar suka budaya Jepangnya, tapi kalau orang wibu di Jepang itu benar-benar orang yang lebih suka animenya karena mereka (sudah) hidup di Jepang,” ungkap Kenzie saat ditemui via layar daring Google Meet, Minggu (11/6/2023).
Serupa dengan anime, ada pula musik dan idol penyanyi Jepang yang juga digemari hampir seantero Jepang. Benarkah semasif itu?
“I would say yes karena kalo lihat dari teman-temanku yang wibu juga, banyak yang ramainya itu enggak di Tokyo doang. Orang-orang bisa datang dari tempatku di utara Tokyo, terus mereka beli tiket shinkansen sampai ke Tokyo doang untuk nonton event-nya. Jadi banyak orang yang di luar Tokyo pun yang nonton. Jadi benar-benar ramai,” jawab Kenzie saat itu.
Belum lagi perkara festival bertema Jepang yang juga tengah marak digelar di Indonesia. Menurut Kenzie, panitia festival di Indonesia belum menggunakan struktur acara yang sepenuhnya runut, sedang para panitia festival menyusun acara dengan sistem jam tertentu agar pergantian sesi berlangsung dengan jelas.
Uniknya lagi, cosplayer karakter anime Indonesia masih didapati yang ala kadarnya, tetapi dipertontonkan dengan bangga ke mana-mana. Berbeda dengan cosplayer di Jepang yang berdandan profesional, bahkan untuk event kecil sekalipun. Kami yang mendengar hal ini sontak tak ayal dengan kultur disiplin waktu dan kerja keras Jepang.
“Maybe di Indonesia karena aku juga sempat ikut event. Kalau orang Indonesia itu suka datang satu grup gitu, ya. Tapi kalau di Jepang kadang-kadang aku cuma lihat orang sendirian nggak ada community or friend gitu,” ungkap Kenzie.
Kontras, ada satu poin yang tak bisa Kenzie pungkiri. Kekompakan para wibu Indonesia patut diacungi jempol.
“Orang Indo itu suka datang satu grup temenan. Tapi kalau di Jepang kadang aku cuma lihat orang sendiri, enggak ada teman gitu. Di Indo aku lihat sampai satu grup gede terus bawa banner ke event wibu. Kalau di Jepang kayaknya enggak ada sih,” tambahnya.

Setelah berbincang dengan Kenzie, tidak sadar ternyata sudah jam 8 malam. Perut kami sepertinya sudah melakukan demonstrasi menuntut pemenuhan gizi. Malam itu, kami memutuskan untuk segera pulang saja.
Lapar mengisyaratkan untuk menyelesaikan obrolan kami. Setelah banyak berbincang, kami banyak mendapatkan pencerahan dari cerita Horsa, Vellanda, dan Kenzie. Menurut kami, setiap orang berhak untuk memiliki kegemarannya sendiri. Menjadi seorang wibu juga bukan merupakan tindak pidana yang harus diperkarakan. Oleh karena itu kita tidak bisa menilai seseorang dari tampangnya, kegemarannya, atau caranya menjalani hidup.
“Jangan menilai manga dari sampulnya.”
-
Penulis:
Azyd Aqsha Madani - 00000041357
Reno Alif Briantoro - 00000050808
Gabriella Keziafanya - 00000045953
Comments