Sebuah Pelangi Sehabis Hujan: Pengalaman Kunjungi Vihara Tertua Tangerang Selatan
- gabriella keziafanya(00000045953)
- Apr 4, 2023
- 3 min read

Saat itu pukul 10 pagi, sehabis hujan dan udara masih terasa dingin. Seorang pegawai vihara mengelap keringatnya, kelelahan selepas menyapu debu-debu hio di antara lilin-lilin tinggi. “Sebentar lagi bakalan ribut di sini. Jam 11 nanti ada anak-anak pada dateng, sekolah,” kata seorang bernama Agus, salah satu pegawai Vihara Boen Hay Bio Karuna Jala, vihara tertua di Tangerang Selatan dan berdiri sejak 1694.
Matahari masih bersembunyi di balik awan yang menyelimuti. Orang-orang sedikit demi sedikit masuk ke dalam ruangan. Suara anak-anak yang berlarian memenuhi ruangan yang sebelumnya sunyi. Kursi lipat satu per satu mulai disusun berjajar menghadap sebuah papan tulis kecil. Ibu-ibu yang mengantar anaknya sudah mulai pergi, sedang beberapa memilih tetap menunggu.
“Sekolah Buddha, biasanya ini tiap hari Sabtu,” jelas Agus sambil menunjukkan ruangan-ruangan vihara. Sekolah agama ini sengaja diadakan bagi anak-anak yang tidak memiliki pelajaran agama Buddha di sekolah mereka. Sekolah agama tiap Sabtu pukul 11.00 untuk SD dan tiap minggu pukul 11.00 untuk SMP dan SMA.
Guru mulai menenangkan anak-anak yang tadinya ribut. Perlahan mereka mulai diam dan fokus memperhatikan penjelasan di depan. Sekolah agama SD terdiri dari dua kelas: kelas 3–4 SD dan kelas 5–6 SD. Satu kelas diisi oleh 10–15 siswa. Ada pula beberapa anak didik vihara yang lanjut bekerja menjadi pengurus vihara karena tempat tinggal mereka di sekitar vihara.


“Aku di sini baru satu tahun lebih, tapi aku orang sini. Aku dulu juga dari anak sekolah Minggu sini, terus ngajar sekolah Minggu sekarang. Sekarang dapet kerja juga di sini. Emang jodohnya di sini,” ucap Sherli, sekretaris kantor Boen Hay Bio. Ia menambahkan bahwa memang rata-rata pengurus adalah orang sekitar, yang kalau ditarik garis masih bersaudara.
Kami juga mengenal Andre, karyawan maintenance yang bertugas menghitung persiapan hio, menjaga lilin, mencuci buah, dan bersih-bersih. Serupa dengan Agus. Total pengurus vihara ada 9 orang, termasuk ketua, dua wakil ketua, dua sekretaris, bendahara, bapak pengawas, dan karyawan.

“Duduk aja, mas!” kata Agus sambil menarik kursi. Di sebuah meja panjang, kami dan Agus duduk bersama sambil sesekali memotret lilin-lilin yang berjejeran rapi. Seorang perempuan datang menghampiri, “Ayo, mas, silahkan makan,” ujar Metta, salah satu pegawai kantor di vihara. Berhubung saat itu sedang bulan Ramadan, anggota kami Azyd dan Reno sedang puasa. Mereka saling bertatapan sebelum menolak dengan halus, “Nggak usah, ci. Kami makan nanti aja. Terima kasih.”
“Puasa, mas?” tanya Agus. “Iya, pak,” jawab mereka berdua serempak. “Saya juga puasa ini, mas,” ucapan Agus sontak membuat kami keheranan. Dia pun menyadari kami yang terkejut. “Saya di sini kerja aja, mas. Namanya butuh, apa aja dikerjain,” katanya sambil mengelus kumisnya. Agus sudah bekerja sebagai petugas kebersihan sejak 2014 dan tak ada tekanan apa pun yang diterimanya soal agama. “Selama ini nggak ada masalah sama apa yang saya yakini. Kerja ya kerja aja, ibadah ya ibadah,” lanjut Agus. Mendengar hal tersebut, perasaan kami luluh bak lilin-lilin merah di vihara yang terkena panas api.

Kami berkeliling vihara sampai ke lantai 2, melihat-lihat sudut ruangan sambil memotret hal-hal menarik. Semerbak wangi hio tercium ke mana pun kami pergi dan rasanya serpihan abu hio di lantai mulai menempeli telapak kaki. Kami jadi paham kenapa di pintu masuk vihara disediakan tempat cuci kaki dan tangan.
Tempat ini bak tempat wisata bagi sebagian orang, mengingat usia vihara telah mencapai 329 tahun.“Kami kan 24 jam di sini. Kalau hari rame mah Ce It-Cap Go rame. Tanggal 1 sama tanggal 15 kalender Cina, tiap bulan ada,” jelas Andre sembari menyusuri lorong 12 bilik altar dewa.
Tiap Ce It dan Cap Go, pengurus menyediakan konsumsi bagi para tamu. Halim dan rekan-rekan dapur akan memasak bersama khusus di hari-hari penting tersebut. “Kalau saya bagian masak. Tadi masak-masak capcai, bihun. Kita masak, siapa aja tamu, kita masak,” ujarnya santai sambil menyantap pisang yang disajikan Sherli di meja panjang.
“Tapi biar masak, bukan bencong, bukan,” celetuk Tatang sang ketua pengurus sukses membuat kami tertawa.
Dalam dua hari liputan kami, itu adalah pertama kalinya tim kami mendatangi tempat ibadah vihara. Banyak hal yang rupanya di luar ekspektasi kami. Pengurus vihara pun sangat terbuka dengan kedatangan kami. Sangat senang melihat kebersamaan mereka yang berkumpul bersama menjadi satu rumpun pengurus untuk bekerja berdampingan.
=
Gabriella Keziafanya (45953)
Reno Alif Briantoro (50808)
Azyd Aqsha Madani (41357)
Ivan Augusto.
Comments