AI Merambak, Nasib Anchor Terkoyak?
- gabriella keziafanya(00000045953)
- Nov 11, 2022
- 4 min read

Keberadaan AI atau Artificial Inteligence di masa sekarang dapat disimpulkan membawa dampak positif, tetapi juga negatif bagi manusia di saat yang bersamaan. AI muncul sejak tahun 1956 setelah dikemukakan pertama kali pada suatu konferensi ilmiah di Darthmouth College, Hanover, New Hampshire. Sejak saat itu, AI terus mengalami perkembangan, baik dari sisi teknologi maupun teori.
Pada dasarnya, AI memudahkan kegiatan manusia dalam berbagai aspek, salah satunya di bidang Jurnalistik. Sudah menjadi tugas media untuk menyampaikan berita kepada masyarakat. Namun seiring dengan pergerakan zaman yang berubah dengan adanya kemajuan teknologi, pada akhirnya media menjumpai kodratnya untuk harus menjadi alat yang cepat plus akurat dalam menyebar informasi. Jenis AI yang digunakan bermacam-macam, seperti bot, AI news anchor, hingga jurnalis robot.
Tahun 2014, kantor berita Associated Press (AP) di New York memanfaatkan AI untuk merilis artikel laporan keuangan, dan LA Times California menyusul untuk digunakan dalam menulis peringatan gempa. Tahun 2016, Washington Post juga ikut menggunakan teknologi Heliograf untuk memproduksi laporan yang berhubungan dengan Olimpiade Rio de Janeiro saat itu.
Tahun 2018, kantor berita Xinhua di Cina membuat suatu terobosan baru di mana AI bekerja sebagai asisten melalui perkembangan Neuro-Linguistic Programming (NLP). Robot ini mampu menulis berita dengan kualitas yang sama dengan manusia, dalma hal ini para jurnalis.
Selain itu, mereka juga membuat AI News Anchor pertama di dunia. Sistem ini dibentuk melalui kolaborasi dengan perusahaan mesin pencari web (search engine) Sogou.com. Suara dan tampilannya merupakan representasi dari anchor asli Xinhua, Zhang Zhou.
Masih di tahun yang sama, Indonesia juga menghadirkan sistem teknologi AI di bidang berita. Situs Beritagar.id membuat Robotorial, rubrik artikel yang 100% ditulis oleh robot. Robotorial perdana pada 25 Februari 2018 dengan laporannya mengenai pertandingan Liga Inggris antara Leicester vs Stoke City.
Kemudian muncullah istilah “jurnalis robot” yang mengacu pada kemampuan sederet bahasa kode yang bisa menyusun berita layaknya jurnalis sungguhan. Robotorial sangat membantu jurnalis (manusia) menyingkat waktu dalam menyelesaikan hal-hal yang perlu profesionalisme, bisa dialokasikan untuk membuat karya yang lebih in-depth dan investigatif.
Jurnalis robot ini dapat mengotomatisasi dan melakukan optimalisasi setiap tahapan dalam proses produksi berita, seperti mengumpulkan bahan berita, pencarian lead tulisan, pembuatan berita, penyuntingan, menyortir perilaku hingga menganalisis umpan balik pembaca berdasarkan program dan template berita yang sudah ditentukan.
Bila kita lihat di sini, semakin bertambahnya waktu, kecerdasan AI pun semakin meningkat dan bentuknya semakin menyerupai manusia. Bedanya hanyalah AI bekerja lebih cepat dari kecepatan manusia pada umumnya. Ketika kita berbicara mengenai keuntungan, tentu kecerdasan buatan seperti ini membawa dampak yang signifikan bagi perusahaan media. Profit meningkat, pelanggan bertambah, jumlah klik semakin banyak hanya dalam hitungan menit, dan sebagainya.
Namun jika kita menelisik lebih dalam pertanyaan Remotivi “Apakah dengan adanya jurnalis robot maka peran manusia sebagai pewarta berita akan tergantikan?”, bagi penulis jawabannya adalah iya. Sebab meski AI membantu kerja menjadi cepat, posisi AI semakin lama bisa semakin menggeser posisi manusia untuk hal kinerja. Orang-orang cenderung mengharapkan sesuatu secara instan sehingga nasib pekerja-pekerja di televisi terancam.
Dari data-data di atas, kita sudah melihat bahwa AI mulai mengambil peran yang besar di bidang ini. Dengan kata lain, perusahaan media tidak membutuhkan lagi pewarta berita sebagai sebuah pekerjaan yang perlu dipekerjakan oleh manusia. Ini bisa diganti dengan robot. Robot juga memiliki kemungkinan kesalahan dalam siaran yang lebih kecil jika kita bandingkan dengan manusia, sebab ia bekerja berdasarkan sistem yang sudah dibentuk.

Sayangnya tak hanya di dunia penyiaran, AI juga hadir di media sosial. Saat ini, hampir setiap orang punya handphone pribadi dan media sosial untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, bentuk robot yang dapat berkomunikasi melalui chat (biasa kita kenal dengan “bot”) mulai digunakan untuk mempermudah penggunaan media sosial oleh sejumlah instansi, termasuk instansi berita.
Bot diprogram untuk membantu membalas setiap pertanyaan atau pun pernyataan yang kita berikan. Sistem kerja bot yakni ketika pengguna mengirim suatu permintaan, bot ini akan merespon secara spesifik berdasarkan pada query atau kata kunci yang diberikan. Orang-orang bisa memberikannya perintah dan juga percakapan lewat teks atau audio. Tidak hanya itu, bot juga sering digunakan untuk melakukan transaksi. Kalau dilihat-lihat, sistem bot ini mirip dengan customer service, tetapi versi chat.
Meski keberadaan AI selalu terdengar berkonotasi negatif, kita masih bisa melihat peluang di dalamnya. Penulis melihat bahwa manusia juga bisa turut andil dalam mengembangkan teknologi AI ini. Misalnya saja, pada Robotorial masih dibutuhkan banyak sumber daya manusia, mulai dari programmer, data scientist, sampai pada jurnalis (manusia). Mereka bekerja bersama membentuk robot agar mampu mengerjakan sejumlah tahapan, seperti cloud computing, Internet of Things, hingga mengolah Big Data.
Dilihat dari segi performa, jurnalis robot juga masih meninggalkan banyak hal yang diekspektasikan. Melansir dari futurism.com, pernah didapat suatu suara buatan Duplex Google menelepon seseorang untuk dikelabui, tetapi ini tidak bisa menipu siapa pun sebab suara robot tetap akan terdengar kentara bersama dengan pemilihan bahasa yang diucapkan.
Sementara untuk AI news anchor, meskipun dibentuk berdasarkan model pembawa berita sungguhan, suaranya masih terdengar sangat seperti robot, dalam artian tidak memiliki intonasi nada layaknya manusia, dan gerak geriknya canggung.
Selain itu, robot tentu saja tidak punya ekspresi dan perasaan sehingga akan selalu membawakan siaran dengan nada yang datar dan tanpa emosi. Dalam hal ini, menurut penulis keberadaan pewarta berita asli masih bisa diperlukan, contohnya untuk siaran berita feature dan jurnalisme kuning seperti infotaiment.
Juga, dalam Robotorial misalnya, masih banyak ditemukan pengulangan kata. Meski demikian, Wakil Pemimpin Redaksi Beritagar, Rahadian P Prajnamu berkata bahwa seiring berjalannya waktu tim produksi Beritagar akan meningkatkan skill Robotorial agar dapat menulis dengan semakin lentur. Terutama, dalam varian frasa pada judul artikel.
Kesimpulannya adalah AI dan jurnalis robot membantu banyak pekerjaan jurnalis dalam menyampaikan berita yang cepat kepada masyarakat, sebab pada masa ini semua orang ingin berita yang terkini dan ingin selalu update terhadap apa yang terjadi di sekitar, sekali pun itu ada di luar negara. Untuk berita-berita seperti olahraga yang membutuhkan perhitungan yang akurat, jurnalis robot akan sangat membantu sebab sistem akan mencatat semua data, seperti data skor dan waktu masuk gol dengan lengkap.
Namun di sisi lain, beberapa pekerjaan di industri penyiaran akan hilang tergantikan dengan AI. Oleh karena itu, kita harus bisa melihat peluang agar tetap bisa bersaing di dunia yang semakin penuh dengan teknologi maju.
Menurut penulis, apabila kita terampil dalam menggunakan teknologi, setidaknya kita masih bisa mengambil andil dalam pekerjaan-pekerjaan jurnalis mendatang. Atau istilahnya, “melek digital” perlu dikembangkan dan dikuasai oleh semua jurnalis.
-
Sumber: remotivi.or.id, futurism.com, idcloudhost.com.
*Artikel ini adalah tugas individu untuk mata kuliah (JR-214) History of Journalism pada 16 April 2021, serta telah rilis di web dan Instagram Taboo Media Indonesia: AI Merambak, Apakah Nasib Jurnalisme Terkoyak? pada 18 April 2021.
Commentaires